Aku melihat mentari tertutup kabut. Pagi ini kota ini diselimuti embun, dingin menusuk sendi. Pukul 04.30 aku sudah berdiri dipinggir jalan, menunggu bis yang akan mengantar ku bertemu dengan seseorang yang belum saya temui. Dia Renn, wanita yang ku kenal dari social network. Entah bagaimana mulanya, akhirnya kami berbincang dengan chatting. Aku mengenalnya sekitar 3 bulan terakhir ini. Dia tertutup namun aku merasa bahwa dia ingin sekali menceritakan beban yang ia pikul. Renn gadis yang ceria, ia hanya menceritakan kesehariannya tidak untuk masa lalunya, bahka cerita kemarin tidak akan dibahas lagi olehnya.
2 hari lalu, aku mengajaknya untuk bertemu, dorongan kuat itu memaksa ku untuk bertemu dengannya. Beberapa kali dia menolak untuk bertemu dengan ku, namun aku meyakinkannya bahwa aku sudah menjadi sahabat baik untuknya dan aku berjanji tidak akan menyakitinya. Dia pun percaya dan mau diajak untuk bertemu diakhir pekan ini.
Dia memilih sabtu pagi, dimana banyak orang memilih untuk di rumah. Kami ke salah satu taman ditengah kota.Langit masih gelap, aku masih bisa mendengar suara jangkrik bernyanyi. Aku masih bingung, kenapa dia memilih dihari yang masih gelap ini? Kenapa tidak sekalian malam hari? Hhhh… Entahlah. Aku sudah bersyukur ia mau bertemu dengan ku, barangkali aku bisa membantunya.
Hanya membutuhkan 20 menit menuju taman tengah kota. Aku kecepatan 10 menit. Ku cari tempat yang kami pilih untuk bertemu, di bawah jam besar. Ku percepat langkah ku. Ahh.. Seorang gadis duduk disana. Sangat manis. Rambutnya panjang lurus, kulitnya putih, mungil. Dia kah Renn? Aku ragu menghampirinya, kuperlambat langkah ku.
“Hai, Lily” Sapanya. Ternyata dia benar Renn.Dia tersenyum, tapi tatapannya kosong.
“ Renn?” Tanya ku, dia mengangguk. “Ternyata kau dating lebih cepat”
Dia mengangguk lagi. Terdiam. Atmosfer sedingin udara pagi ini. Sejuta pertanyaan ku hilang diselimuti kabut. Suasana menjadi kaku.
“ Kenapa kau ingin menemui ku?” Tanya Renn.
“Ohh…” Kenapa? Aku juga bingung. Naluri ku saja yang ingin membuat ku ingin menemui dia. “ Ehhmm, karena aku ingin bertemu sahabat baru ku. Kita sudah 3 bulan berteman, rasanya aneh jika kita belum bertatap muka” Yeaaah…. Alasan sederhana.
“Hanya itu?”
Aku mengangguk. “Aku suka memiliki banyak teman”
Dan terdiam lagi.
Di dunia maya memang aku yang aktif bertanya, namun itu bisa sambil berpikir di balik Komputer ku. Tapi sekarang, aku kesulitan mencari bahan pembicaraan.
“ Aku, memutuskan untuk berhenti sekolah semester lalu” Katanya. Aku berbalik memandangnya, dia mulai bercerita masa lalunya. “ Aku malu, semua teman sekolah melirik ku dengan tatapan aneh. Mereka sepertinya kasihan akan keadaan ku…”
Renn menceritakan kisah keluarganya. Dimana ibunya seorang wanita tuna susila dan ayahnya seorang pemabuk. Mereka bercerai saat Renn duduk di bangku smp. Mulai saat itu banyak yang mengetahui pekerjaan ibunya dan kekasaran sang ayah.
“ Mereka terlihat simpatik, padahal aku tau bahwa mereka sangat jijik kepada ku. Bahkan ada yang mengatakan langsung kejijikannya kepada ku. Ayah seorang manager sebuah club. Hampir setiap hari aku di cela oleh ayah, beberapa kali ia menampar ku. He said I’m nothing. Ayah membawa ku hanya karena tidak ingin aku seperti ibu, tapi ia terus menerus mengatakan aku nomor 2 ibu. Perkataan kasar itu menusuk hati ku”.
Ia semakin menunduk, tetap bercerita sambil menahan isakannya. Aku masih berdiri didepannya. Ceritanya semakin panjang. Mengenai pamannya yang hampir menodainya, teman kencan ibu yang mencarinya, pukulan ayah yang membuat lebam di tangan dan pipinya, nilainya yang buruk, tidak memiliki teman. 6 bulan ini ia mengurung dirinya dirumah, tidak ada bioskop, mall, shopping, hangout. Mungkin ia lupa dengan gang rumahnya. Hati ku pedih mendengar ceritanya, hampir 1 setengah jam ia berbicara.
“ Mungkin hanya kau teman ku. Teman ku dibelakang layar” Lanjutnya. Tangannya masih meremas jari-jarinya. “ Itu pun karena kau tidak mengetahui ini semua”
Tatapan kosong dan cara berbicaranya yang sering diberi jeda memang membuatnya terlihat seperti gadis yang mengalami depresi berat, mungkin kasarnya sedikit tidak normal. PAdahal dia terlihat begitu manis.
Air matanya mengalir dengan deras, aku tahu dia menahannya sedari tadi. Ia kesulitan melanjutkan bercerita karena isakannya. Aku semakin teriris. Ku peluk dia. Ku biarkan dia membasahi punggung ku. 10 menit tangisnya tidak mereda. Lutut ku sakit menahan badannya. Ingin sekali menyudahinya, namun hati ku bersikeras melepas pelukan ini. Ia membutuhkan pundak ku.
Waktu menunjukan pukul 06.30, Mentari mulai menunjukan rupanya. Ia berhenti terisak, ku lepas pelukan ku.
“ Aku tidak berarti” Lanjutnya. “ Aku tidak dibutuhkan”
“ Renn, kamu tau betapa berharganya diri mu?” Tanya ku. Dia tetap terdiam, sepertinya dia tau jawabannya. “ Baiklah. Jika kamu menganggap kalau dirimu tidak berharga, bagaimana orang lain mau menganggap mu berharga?”
“ Karena orang lain menunjukan betapa tidak berharganya aku, penyebab pemikiran itu muncul” dia menggeleng “ Tidak, bukan pemikiran, kenyataan”
“ Apakah kau yakin mereka menganggap mu tidak berharga?” Tangannya digengam semakin erat. “ Dengar, kaluarlah. Cari kehidupan mu, dan kau akan menemukan begitu banyak orang yang akan menerima mu”
“ Keluar? Aku akan semakin banyak menerima perlakuan tidak manusiawi” Katanya dengan nada tinggi. Kali ini dia berdiri. Menyentuk batang pohon besar di dekat jam besar.
“ Dan kau berpikir aku salah satu dari mereka yang kau pikirkan?” dia melirik ku sekilas.
“ Entah”
Aku kembali menghampirinya, ku pegang tangannya. “ Renn, kau begitu berharga. Jika memang tidak ada seorangpun yang menginginkan mu, masih ada Tuhan yang membela mu. Kasihnya tidak berhenti pada mu”
Dia tertawa kecil menyindir.
“ Aku tidak bercanda”
Renn menatap ku tajam. “ Tuhan? Tidak terlihat” Katanya. “ Kalau DIA memang ada, DIA takkan membuat ku seperti ini!”
“ Bagaimana kau bisa melihatnya jika kau tidak mengenalnya?” Ku pastikan dia tertarik dengan pembicaraan ini.
“ Mengenalnya? Aku bisa mengenalnya?”
Aku mengangguk pasti. “ Kau mau?”
Renn ragu. Sepertinya dia menganggap ku bodoh. Berjumpa dengan Tuhan? Omong kosong! Mungkin itu pemikirannya. “ Kau bercanda…”
“ Aku serius. Aku mengalami perjumpaan dengannya. Dan hidup ku berubah”
“ Lily, DIA itu DEWA! Mana mungkin kita bisa bertemu dengannya. Apa kau punya six sense?”
Aku ingin tertawa! Tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat. “ Kau bisa bertemu dengannya, kapan pun. Asalkan kau mau bertemu dengannya”. Renn ragu, tapi aku yakin dia mencari sosok Tuhan. Dia butuh. “ Aku akan membantu mu”
Renn malu, atau putus asa? Aku tidak perduli. Aku begitu mengasihi dia, terlepas apapun masa lalunya, keburukannya, dosanya, aku tidak perduli. Aku hanya perduli bagaimana menyelamatkannya. “ Kita hanya perlu berdoa. Maukah kau berdoa?”
Mukanya semakin bingung. “ Berdoa?” Tanyanya. Aku mengangguk. “ Kita tidak ingin makan seperti yang dilakukan kebanyakan orang di TV-TV”.
Kali ini aku hanya menutupi rasa ingin tertawa ku dengan senyum. “ Tidak Renn, berdoa tidak hanya ketika kita ingin makan. Berdoa adalah napas hidup kita. Disinilah kita bisa bertemu Tuhan. Kau mau bertemu denganNYA?” Renn masih tidak ingin menjawab. Ku raih tangannya, ku ajak dia duduk kembali. Aku berdoa untuknya. Mengajaknya mengampuni orang-orang yang membuatnya terluka, menerima Yesus sebagai juruselamatnya, mengampuni diri sendiri dan menerima dirinya. Agak sulit melepaskan ikatan-ikatan dalam dirinya. Butuh 40 menit untuk mengatakan amin.
Matanya sembab, bibirnya kering, dan terlihat ia begitu kecapaian. “ Apa yang kau rasakan”
Ia memandang ku dengan tatapan tidak percaya “Itukah DIA?” TAnyanya.
“ Kau bertemu denganNYA?”
Renn mengangguk. “ Sosok putih itu? DIA menghapus air mata ku, dan mengatakan bahwa DIA begitu mencintai ku”
Aku tersenyum gembira. “ Maukah kau berkunjung kerumahNYA, besok”
“ RumahNYA? Dimana?”
“ Aku akan menjemput mu besok ditempat ini, pukul 10.00”
Aku berbalik sambil tersenyum puas.
Sesampai dirumah, ku nyalakan laptop ku. Sebuah pesan muncul. Dari Renn
“Dear Lily. Terima kasih sudah mau menjadi teman ku selama 3 bulan ini. Aku tidak tau bagaimana wujud asli mu. Tapi aku yakin kau baik. Mungkin. Jika pagi ini kau tidak menemui ku, mungkin kau bisa ke rumah ku: Rev Street 1032. Itu pun kalau jasad ku belum terpendam ditanah. Aku memutuskan untuk keluar dari dunia ini. Mungkin ada dunia lain yang bisa menerima ku. Sepertinya aku begitu hina sehingga banyak yang menolak ku. Lily, aku mohon selamatkan mereka yang mengalami hal seperti aku. Aku tidak bisa berbuat banyak. Sekali lagi, terima kasih. Sampai berjumpa di tempat selanjutnya. -Renn- .”
Aku tersentak. Pesan itu ditulis pukul 00.00 am. Dia berusaha mengakhiri hidupnya hari ini! Air mata ku menetes deras. Jika aku tidak memaksanya untuk bertemu, apakah hari ini dia akan meninggal? Dan tidak selamat?
Tuhan, terima kasih, karena kasih MU yang tidak terbatas. Terima kasih 1 jiwa ini KAU selamatkan. Tak terbayang jika aku tidak taat untuk mengajaknya bertemu. Terima kasih, Tuhan, terima kasih.